Pendakian Terakhir Norman Edwin, sang Beruang Gunung Gugur di Aconcagua
![]() |
Norman Edwin dan Didiek Samsu |
Kepergian Norman tidak hanya meninggalkan duka, tetapi juga meninggalkan
kisah heroik tentang keberanian, idealisme, dan cinta pada alam yang akan terus
dikenang. Ia adalah sosok jurnalis, petualang, sekaligus panutan generasi muda
pecinta alam Indonesia.
Siapa Norman Edwin?
Norman Edwin berdarah Plembang-Cirebon lahir pada 3 Mei 1954 di Jakarta. Sejak muda, ia dikenal
memiliki minat besar terhadap alam bebas. Masa mudanya diwarnai dengan
petualangan mendaki gunung, menyusuri hutan, hingga menjelajah laut. Tak hanya
seorang petualang, Norman juga seorang intelektual: ia gemar membaca, menulis,
dan berpikir kritis.
Karier profesionalnya terbangun di dunia jurnalistik kOMPAS, tempat terakhirniya ia bekerja. Norman banyak menulis liputan mendalam, termasuk soal
lingkungan, petualangan, dan kehidupan masyarakat. Tulisan-tulisannya tidak
hanya informatif, tetapi juga menggugah, membuat pembaca merasa ikut larut
dalam perjalanan yang ia alami.
Namun, Norman bukan sekadar jurnalis yang menulis dari balik meja redaksi.
Ia adalah sosok yang hidup dengan apa yang ia tulis.
Baginya, menulis adalah bagian dari pengalaman langsung. Itulah sebabnya ia
aktif sebagai anggota Wanadri, organisasi
pencinta alam legendaris yang melahirkan banyak tokoh petualang Indonesia. Dari
sinilah jiwanya ditempa menjadi seorang pendaki sejati.
Gunung Aconcagua Atap Amerika Selatan
![]() |
Gunung Aconcagua, sumber: simon/pixabay.com |
Meski secara teknis rute normal Aconcagua dianggap “tidak terlalu teknis”
karena bisa didaki tanpa peralatan panjat khusus, bahaya utamanya justru
berasal dari iklim ekstrem Pegunungan Andes.
Badai salju bisa datang tiba-tiba, suhu bisa turun drastis hingga puluhan
derajat di bawah nol, dan angin kencang mampu meruntuhkan fisik pendaki.
Banyak pendaki dunia meninggal di gunung ini bukan karena jalur teknis,
tetapi karena hipotermia, edema paru akibat ketinggian,
dan badai salju. Inilah tantangan yang dihadapi Norman dan
Didiek pada tahun 1992.
Ekspedisi Norman Edwin dan Didiek Samsu
Norman Edwin yang di juluki beruang gunung yang sangat menggaungkan suara untuk SEVEN SUMMIT pendakian tujuh puncak tertinggi dunia. Dalam misi Seven Summit Expedition 1992 - MAPALA UI. Norman dan team expedisi, telah berhasil menggapai empat puncak tertinggi yang ada di dunia, yakni Gunung Carstensz Pyramid di Papua (4.884 Meter), McKinley di Alaska, Amerika Utara (6.194 Meter), Kilimanjaro di Tanzania, Afrika Timur (5.894 Meter), dan Elbrus di Rusia (5.633 Meter).
![]() |
Norman Edwin dan Team Expedisi Seven Summit, sumber: norman edwin official fan page/facebook |
Pendakian ke lima yang direncanakan oleh Norman Edwin bersama timnya Seven Simmit Expediton Mapala UI, yaitu Gunung Aconcagua (6962 meter). Berada di Argentina dekat perbatasan Chili yang merupakan gunung tertinggi di benua Amerika. Tercatat pendaki pertama yang berhasil yaitu pendaki asal Swiss Matthias Zurbriggen pada tahun 1897.
Pada pendakian ke lima ini, Norman Edwin berangkat bersama empat rekan lainnya yaitu Didiek Samsu, Rudy Nurcahyo, Mohammad Fayez, dan Dian Hapsari. Berdasarkan berita Kompas yang dikutip melalui tulisan Harry Susilo, ekspedisi tersebut dilakukan pada 12-27 Februari 1992 melalui jalur Gletser Polandia menuju jajaran pegunungan Andes, Argentina. Jalur ini lebih sulit dibandingkan yang ada di Aconcagua.
Tujuannya
jelas mengibarkan Merah Putih di puncak Aconcagua. Bagi Norman, ini bukan
sekadar perjalanan pribadi, melainkan juga bagian dari cita-citanya untuk
menunjukkan bahwa Indonesia mampu berdiri sejajar dengan bangsa lain di dunia
pendakian internasional.
Norman dkk membuat
ekspedisi ini terasa lebih berani, tetapi juga lebih berisiko. Persiapan fisik,
mental, dan logistik telah mereka lakukan, namun Aconcagua menyimpan kejutan
yang sulit ditebak.
Menurut catatan, perjalanan awal berlangsung cukup lancar. Mereka berhasil mencapai base camp, menyesuaikan diri dengan ketinggian, lalu perlahan naik menuju camp-camp selanjutnya. Namun, semakin tinggi mereka mendaki, kondisi semakin berat. Oksigen semakin tipis, angin semakin kencang, dan suhu semakin menusuk tulang.
Perjalanan menuju puncak Aconcagua tidak selancar sesuai rencana, Berawal dari kecelakaan yang menimpa Fayez membuat pendakian harus diurungkan dan semua tim expedisi mau tidak mau harus turun kembali, karena melihat kondisi cuaca yang semakin tidak membaik.
![]() |
Norman Edwin mengalami (frostbite), sumber: sumber: norman edwin official fan page/facebook |
Tragedi di Lereng Aconcagua
Sebaliknya, dengan tekad yang kuat, Norman dan Didiek justru merencanakan untuk melanjutkan pendakian ulang Aconcagua dengan pendakian di jalur normal pada 11-21 Maret 1992.
Badai salju besar melanda kawasan Aconcagua. Angin bertiup kencang, suhu jatuh hingga puluhan derajat di bawah nol, dan jarak pandang hampir hilang sama sekali. Di tengah kondisi itu, Norman dan Didiek tetap berusaha melanjutkan perjalanan.
Namun, kekuatan manusia ada batasnya, diduga mereka mengalami kelelahan hebat dan hipotermia akibat suhu ekstrem. Beberapa laporan menyebutkan bahwa keduanya sempat terjebak di ketinggian sebelum akhirnya meregang nyawa yang tidak jauh dari Puncak Gunung Acocangua.
Pada saat itulah Sang Pencipta berkehendak lain pada kedua pendaki senior yang dimiliki Indonesia. Badai salju menghentikan langkah Norman Edwin dan Didiek Samsu gugur, menjelang puncak Aconcagua.
![]() |
Norman Edwin dan Didiek Samsu, sumber: official fan page/facebook |
Tanggal 23 Maret 1992, jenazah Didiek Samsu ditemukan di dalam kantong tidur di Refugio Independenzia, ketinggian 6.400 meter. Tanggal 2 April jenazah Norman ditemukan oleh ranger gunung dalam kondisi mayat yang sudah membeku.
Dan inilah akhir dari Expedisi Seven Summit gunung Norman Edwin. Dia meninggal saat melakukan pendakian ke puncak kelimanya di Aconcagua.
Dunia pendakian tanah air kehilangan dua
sosok penting, sementara dunia jurnalistik kehilangan seorang penulis hebat.
Duka di Tanah Air
Berita meninggalnya Norman Edwin cepat menyebar di Indonesia. Rekan-rekan di jurnalis terpukul mendalam. Banyak tulisan
mengenang Norman dimuat di media saat itu, menggambarkan betapa ia adalah sosok
yang tulus, idealis, dan penuh semangat hidup.
Di kalangan pecinta alam, khususnya Wanadri,
duka itu terasa sangat dalam. Norman adalah salah satu inspirasi, seorang
senior yang menunjukkan bahwa mendaki gunung bukan hanya tentang olahraga,
tetapi juga tentang filosofi hidup.
Pemakaman Norman dan Didiek dihadiri banyak kalangan. Air mata bercucuran,
tetapi sekaligus ada rasa bangga: mereka pergi dengan cara yang mereka cintai,
dalam petualangan, dalam kejujuran hati.
Warisan dan Inspirasi
Hingga hari ini, lebih dari tiga dekade sejak tragedi itu, nama Norman
Edwin tetap harum. Ia dikenang bukan hanya karena kepergiannya
yang tragis, tetapi juga karena warisan yang ia tinggalkan.
1. Tulisan
dan Catatan Perjalanan
Norman meninggalkan banyak catatan perjalanan yang inspiratif. Gaya bahasanya
yang khas membuat pembaca merasa ikut mendaki bersamanya. Banyak generasi muda
yang terinspirasi untuk menjelajah alam karena membaca tulisannya.
2. Semangat
Pantang Menyerah
Kisah Norman menunjukkan bahwa pendakian bukan hanya tentang mencapai puncak.
Kadang-kadang puncak bisa gagal diraih, tetapi nilai perjuangan, persahabatan,
dan cinta pada alam jauh lebih berarti.
3. Inspirasi
bagi Generasi Pencinta Alam
Bagi Wanadri dan komunitas pencinta alam lainnya, Norman adalah simbol
keberanian. Namanya diabadikan dalam berbagai acara, dokumentasi, bahkan
tulisan-tulisan sejarah petualangan Indonesia.
Antara Cinta Alam dan Risiko
Kematian Norman Edwin di Aconcagua mengajarkan satu hal penting: alam selalu
lebih kuat dari manusia. Sehebat apa pun persiapan seorang pendaki, risiko
tetap ada. Karena itu, mendaki gunung bukan hanya soal keberanian, tetapi juga
soal kebijaksanaan dalam mengambil keputusan.
Namun, di sisi lain, kisah Norman juga menunjukkan makna terdalam dari
petualangan. Ia mendaki bukan untuk menaklukkan alam, melainkan untuk menemukan
dirinya sendiri. Dalam filosofi para pendaki, “puncak hanyalah
bonus, perjalananlah yang utama.”
Norman telah menjalani perjalanan hidupnya dengan penuh warna, penuh
idealisme, dan akhirnya ia pergi di tempat yang paling ia cintai: gunung.
Jejak yang Tak Pernah Hilang
Kisah tragis Norman Edwin di Gunung Aconcagua adalah bagian dari sejarahpendakian Indonesia. Ia meninggal muda, namun meninggalkan jejak yang tak lekang oleh waktu. Hingga kini, setiap kali kita berbicara tentang pendakian dan petualangan, nama Norman Edwin selalu hadir sebagai inspirasi. Ia mungkin gugur di ketinggian Andes, tetapi semangatnya tetap hidup di hati para pendaki Indonesia.
https://law-justice.co/artikel/80019/kisah-norman-edwin-sang-beruang-gunung-dari-indonesia-/
Posting Komentar untuk "Pendakian Terakhir Norman Edwin, sang Beruang Gunung Gugur di Aconcagua "
Posting Komentar